Bidang berbentuk persegi panjang di tengah-tengah Lapangan Batang Lupar, baru selesai diberi patok. Segulung besar tali plastik hitam ditalikan di antara patok-patok tersebut. Tak lupa disisakan kira-kira satu setengah meter bidang yang nanti akan digunakan sebagai pintu masuk.
Siang itu ada tiga lajur yang dibuat dalam sebuah bidang berukuran kira-kira 8 kali 30 meter. Masing-masing lajur itu sudah dibatasi dengan tali plastik hitam. Di ujung bidang menjauh ke arah dalam dibentangkan kain berwarna kuning berukuran 2,5 x 4 meter. Di depan layar kuning itu ditancapkan empat batang kayu panjang berukuran 2 meter. Sedikit lebih tinggi di atas kepala manusia dipasang beberapa kotak sasaran. Di tengahnya ditempel kertas bergambar lingkaran-lingkaran target yang diberi nilai berurutan dari yang paling besar di tengah lingkaran sampai nilai terkecil di lingkaran yang paling luar.
Seorang laki-laki bertopi abu-abu, dengan kaus berkerah dengan corak abu-abu hitam berjalan menuju kotak sasaran. Ternyata nyaris tanpa suara, beberapa detik sebelum itu sepuluh mata sumpit telah menancap di sekitar lingkaran kotak sasaran. Laki-laki itu Vange Vincentius, berumur kira-kira lebih dari 50 tahun adalah peniupnya. Badannya tegap dan berotot. Perut ramping alami dengan lengan-lengan yang kokoh. Vincent, nama panggilannya segera mengambil semua mata sumpit yang tertancap di sana, di sebuah kotak sasaran berbentuk bujur sangkar berukuran setengah meter persegi.
Tidak ada yang meleset. Padahal angin cukup kencang dan jaraknya jauh. Dengan sebuah sumpit panjang berukuran sekitar 2 meter mereka bisa memegang bilah sumpit dengan kekuatan, kestabilan, dan ketepatan yang luar biasa. Beberapa rekan Vincent juga melatih hal yang sama. Mereka latihan menyumpit. Tepatnya berlatih olaraga sumpit.
Khas Kalimantan
Selang seperempat jam berlatih sumpit, Vincent dan kawan-kawannya bergegas kembali ke tempat mereka berkumpul. Dengan menggelar alas plastik mereka berkumpul di bawah pohon yang membatasi berbagai gerai yang rata-rata baru selesai dibuat Jumat siang 25 Oktober 2019 lalu. Vincent dan kawan-kawan berkumpul dalam sebuah komunitas olahraga sumpit bernama Litu.
Komunitas Litu adalah salah satu komunitas olahraga sumpit yang ada di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Hari itu mereka ikut memeriahkan Festival Danau Sentarum 2019 yang berlangsung dari Jumat hingga Minggu, 25 hingga 27 Oktober 2019. Selain melakukan eksebisi pertandingan sumpit, mereka juga memberikan pemahaman kepada pengunjung festival tentang seluk-beluk olahraga sumpit. Mengapa olahraga sumpit harus mereka lestarikan dan apa makna pentingnya bagi kebudayaan Kapuas Hulu.
Olahraga sumpit adalah olahraga khas Kalimantan. “Bahkan seluruh kawasan Kalimantan,” ujar Vincent ketika ditanya perihal kepopuleran olahraga Sumpit.
Termasuk di dalamnya wilayah Sarawak, Malaysia. "Sarawak lebih maju dari kita, kita hanya mengimbangi aja," kata Vincent sambil menggosok spons yang biasa dibuat sebagai alas kaki sepatu.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1572247437_thumbnail_(2).jpg" />Anak sumpit modern yang dibuat dari spons dan fiber. Foto: IndonesiaGOID/Yul Amrozi
Spons itu diberi nama anak sumpit. Yang ada dalam koleksi Vincent berwarna biru, kuning, hijau, dan hitam. Spons itu digunakan sebagai pangkal anak sumpit. Spons dibentuk bulat kerucut seperti peluru. Di tengah-tengah spons itu ditancapkan bilah sebesar lidi yang terbuat dari plastik fiber. Warnanya bermacam-macam seperti warna spons hanya ujungnya digosok tajam agar mudah menancap.
Beda di Mata
Zaman dulu, dituturkan oleh Vincent, sumpit digunakan orang-orang Kayan, suku mereka, untuk berburu di hutan. Mereka biasa melakukan perburuan hewan-hewan kecil yang ada di atas pohon untuk melengkapi lauk-pauk mereka. Tupai, burung, musang atau monyet biasanya yang menjadi sasaran.
Sumpit yang digunakan tentu berbeda dengan sumpit sekarang yang memang untuk olahraga. Walaupun pada dasarnya pembuatannya hampir sama. Yang paling membedakan adalah mata sumpit. Dalam bahasa Dayak umum disebut Damek atau Damak. Dalam bahasa Kayan disebut Langak. Jika untuk berburu, dipakai mata sumpit yang hanya sekali pakai dan harus mudah patah. Anak sumpit biasa dibuat dari kayu ringan yang biasa dibuat gabus yang mereka sebut kayu pelawi. Bilah lidinya dibuat dari dahan enau atau aren dalam istilah orang jawa.
"Kita mencari bahan yang paling keras tetapi mudah patah," kata Vincent menggambarkan bilah mata sumpit yang digunakan untuk berburu. Dahan enau yang sudah dikeringkan dibuat sebesar lidi dan diberi guratan-guratan yang memudahkan agar patah. Guratan itu dibuat di dekat ujung mata sumpit satu sampai tiga goresan. Tergantung bagaimana mata sumpit menancap nantinya. Jika tidak ada guratan mata sumpit itu akan mudah lepas, terutama jika sasaran adalah monyet yang bisa mencabutnya.
Yang paling penting di mata sumpit itu adalah kandungan racun. Racun yang dipasang dimata sumpit terbuat dari getah atau akar tumbuhan. Pohon beracun itu bernama pohon ipoh dalam penuturan Vincent. Adalagi racun bernama tasam atau ponyong. Yang membedakan racun ini adalah efek yang ditimbulkan. Dua jenis racun ini adalah racun darah yang menyerang urat saraf. Semakin cepat hewan yang terkena racun bergerak, semakin cepat mereka lumpuh.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1572247627_thumbnail_(1).jpg" />Vincent Vange sedang meraut sumpit. Foto: IndonesiaGOID/Yul Amrozi
Pembuatan Sumpit
Sumpit yang biasa digunakan oleh Vincent dibuat dari kayu keras atau kayu besi yang sering disebut kayuulin. Awalnya adalah balok kayu berukuran 10 cm x 10 cm x panjang sumpit yang diingingkan. Bagian bawah kemudian dibor dengan bor berbentuk besi yang lurus secara manual. Lubang pengeboran kemudian dibersihkan dan diamplas halus sampai anak sumpit bisa meluncur mulus.
Selesai pembuatan lubang balok kayu ulin diraut atau dibubut seusai dengan keinginan. Setelah selesai perautan atau pembubutan dengan hati-hati baru diberi mata tombak atau ujung sumpit dan besi pembidik berupa besi serupa penutup cekung dengan lubang di tengahnya, tempat memompa udara untuk meluncurkan anak sumpit. (Y-1)